Permasalahan
yang akan dibahas adalah “ Bagaimana fenomena culture shock pada
mahasiswa rantau?”. Hal tersebut terkait dengan banyaknya mahasiswa yang
bersekolah di luar pulau dan mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan budaya
setempat, sehingga mereka dapat menjalani proses pendidikan mereka dengan
maksimal.
Istilah Culture
Shock awalnya dikenal melalui jurnal medis sebagai penyakit yang parah
karena berpotensi menghilangkan nyawa seseorang, yang diperoleh individu saat
ia secara tiba-tiba dipindahkan ke luar negeri. Secara Sosial, Culture shock
dikenalkan pertama kali oleh seseorang sosiolog bernama Kalervo Oberg (1960)
mendefinisikan culture shock sebagai penyakit yang diderita oleh individu yang
hidup di luar kulturnya. Istilah ini mengandung pengertian cemas, hilangnya
arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaiamana
harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada
dalam lingkungan yang secara kultur maupun sosial baru. Oberg lebih lanjut
menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu karena ia kehilangan
simbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama
terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relatif
lama.
Adler ( 1975) menjelaskan bahwa culture shock adalah suatu rangkaian emosional
sebagai akibat dari hilangnya penguatan yang selama ini diperoleh dari
kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tak
memiliki arti, dan karena adanya kesalah pahaman pada pengalaman baru dan
berbeda Perasaan yang muncul meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung,
perasaan takut bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena
ketidaktahuannya, perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh orang lain.
Menurut Guanupa ( 1998) bahwa perasaan tidak nyaman akibat culture shock tidak
hanya melulu reaksi emosional, tetapi juga meliputi reaksi fisik yang diderita
individu ketika merasa berada di tempat yang berbeda dari tempat asalnya.
Pengalaman ini bukan saja disebabkan karena budaya, dan norma-norma masyarakat
yang berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan, teknologi yang berbeda dari
negara asal dengan negara yang didatanginya. Berbagai kerberbedaan tersebut
menimbulkan perasaan asing, kehilangan orientasi dan kebingungan. Milton (1998)
mengamati bahwa pengalaman culture shock itu sendiri bisa sangat unik antara
satu dengan yang lain, karena berbagai penyebab yang sifatnya bervariasi pula
antar satu individu dengan individu lain, maupun antara satu dan budaya lain
yang dimasuki individu tersebut.
Menurut Furnham dan Bochner (1986) ada beberapa istilah berbeda yang
menggambarkan individu yang tinggal di kultur baru berdasarkan lama waktu
tinggalnya. Kurang dari 6 bukan disebut turis, dimana turis adalah mereka yang
tinggal di suatu kultur baru namun tidak terlalu lama. Tinggal dalam waktu yang
lama ( sekitar 6 bulan sd 5 tahun) dikenal dengan istilah sojourner. Dalam
fenomena memasuki kultur yang baru terdapat beberapa tahap yang umumnya dilalui
individu sehubungan dengan culture shock ( Oberg dalam Irwin 2007 ; Guanipa, 1998).
Tahap-tahap ini dikenal dengan istilah U-Shape antara lain :
- Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun
Merupakan
tahap pertama saat individu datang ke tempat yang baru, biasanya berlangsung
sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan Pada masa ini, individu masih
terpesona dengan segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan
bersemangat, antusias, terrhadap kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini,
perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan.
Hal ini merupakan masa pengalaman sebagai turis. Biasanya turis akan pulang
sebelum masa honey moon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya adalah
berbagai hal menyenangkan yang ia temui di tempat barunya. Namun apabila seseorang
tinggal di suatu tempat lebih lma, bisa jadi keadaan akan diikuti dengan
menurunnya suasana hati.
- Tahap Krisis : agresif/ regresi/ flight
Pada
tahap ini, individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan budaya
yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapinya
sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan
agresif, marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal.
Biasanya individu-individu akan berpaling kepada teman-teman sebudayanya, yang
dianggap lebih bisa diajak bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki
kultur yang sama. Seringkali muncul pendewaan terhadap kultur asal, menganggap
kultur asalnya adalah kultur yang paling baik, dan mengkritik kultur barunya
seagai kultur yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan aneh. Kondisi
mengkritik kultur baru ini bisa termanfestasi dalam kebencian terhadap kultur
baru, menolak belajar bahasanya, terlibat dengan orang-orang di kultur baru
tersebut. Pada tahap ini juga muncul stereotipe-stereotipe tentang orang-orang
dari kultur baru yang bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan penduduk
asli. Oberg menyebut masa ini sebagai masa krisis yang akan menentukan apakah
individu akan tinggal atau meninggalkan tempat barunya. Pada masa ini pula bisa
mencul keinginan regresi, keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan
kondisi-kondisi yang ada di tempat asalnya serta mendapatkan perlindungan dari
orang-orang yang memiliki kultur yang sama.
- Tahap Proses Adjustment
Bila
individy bertahan dalam tahap krisis, maka individu akan masuk pada tahap
ketiga. Tahap ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar kultur
baru. Pada periode ini, individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan
nilai-nilai antar kultur aslinya dan kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia
mungkin mulai paham bagaimana cara menggunakan teknologi yang baru, telah
mulai menemukan makanan yang lebh cocok dengan lidah dan perutnya, serta
mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai menemukan arah untuk perilakunya,
dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan rasa humor.
Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti yang dikembangkan oleh Furnham
dan Bochner (1896), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan terisolasi
dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin
sadar adanya berbagai perbedaan antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti
dengan penolakan terhadap kultur baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti
oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia
semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan otonomi
dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian, dimana ia mampu
menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada akhirnya
bisa dinikmati dan diterima.
- Tahap Fit/ Integration
Tahap
berikutnya terjadi apabila individu mulai menyadari bahwa kultur barunya punya
hal yang baik maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat.
Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah
dipelajarinya dari kultur baru, dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki,
sehingga muncul perasaan memiliki. Ini memungkinkan munculnya defenisi baru
mengenai diri sendiri.
- Tahap Re- Entry Shock
Tahap
terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke tempat asalnya.
Individu mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi
sama seperti dulu. Dan pada masa ini pun membutuhkan kembali penyesuaian
terhadap kulturnya yang lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru.
Dalam penelitian Gaw (2000) ditemukan bahwa individu yang kembali ke dalam
daerahnya dan mengalami re-entry shock yang tinggi akan menunjukkan adanya
masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami re entry culture shock yang tinggi
akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami masalah
rasa malu dibandingkan mereka yang mengalami re entry culture shock yang
rendah.
Masing-masing
tahap bukan berarti selalu dijalani secara urut ke jenjang berikutnya. Sangat
mungkin bahwa individu yang telah memasuki jenjang berikutnya masih kembali
mengalami jenjang sebelumnya ketika dihadapkan pada persoalan baru dalam
penyesuaian dirinya.
Setiap
individu menunjukkan gejala-gejala yang berbeda saat mengalami culture shock,
yaitu :
-
Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan,
disorientasi
-
Menjadi lebih khawatir tentang kesehatan.
-
Menderita rasa sakit di berbagai area tubuh, muncul berbagai alergi, serta
gangguan-gangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala, dll.
-
Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa
tidak berdaya
-
Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk beinteraksi
dengan orang lain.
-
Selalu membanding bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal secara
berlebihan
-
Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini
diyakiininya. Misalnya, sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang
cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak
menarik, dll
-
Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan
barunya ( karena rasa cemas ingin menguasai/ memahami lingkungannya) yang
justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan
-
Tidak mampu memecahkan masalah sederhana
-
Kehilangan kepercayaan diri
Secara
singkat, Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distress mental mapun
fisik yang dialami seseorang di lokasi asing di sebut gejala culture shock.
Saat seseorang mengalami culture shock, bagi mahasiswa khususnya, ada beberapa
efek yang secara umum menjadi efek dari culture shock, diantaranya seperti
ketidakmampuan menyelesaikan tugas sekolah dengan baik. Persoalan emosional
yang muncul kadang kala membuat siswa menjadi putus asa dan memutuskan untuk
tidak melanjutkan studi dan memilih untuk kembali ke daerah asalnya.
Hopkins (1999) dan Roland (1988) menyatakan bahwa interakasi dengan kultur baru
akan mendorong terjadinya self directed analysis (analisa yang diarahkan pada
diri sendiri) yang memungkinkan individu untuk menemukan insight dari aspek
psikisnya mengenai dirinya sendiri. Struktur baru ini akan semakin tampak
melalui pengalaman emosional dan afektif saat berinteraksi dengan kultur yang
baru. Dalam hal ini, pengalaman interaksi dengan kultur yang baru tampaknya
tidak selalu negatif. Namun sebaliknya, hal ini akan mendorong individu untuk
mengenali dirinya dalam konteks yang lebih luas. Irwin (2007) juga mengatakan
bahwa proses penemuan makna baru karena pengaruh kultur barunya memungkinkan
individu kehilangan makna lama yang ia miliki dari kultur lamanya. Hal ini bisa
saja membawa implikasi terjadinya krisis identitas dalam diri individu yang
terpapar di suatu lingkungan baru.
Mengapa
culture shock dapat terjadi dapat dilihat dari beberapa pendekatan. Chapdine
(2004) mencatat empat pendekatan dalam menjelaskan culture shock, antara lain :
- Pendekatan Kognitif
Pendekatan
ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk penyesuaian lintas budaya individu
akan tergantung dari kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang
tepat mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di
lingkungan yang baru. Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri
karena mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai,
menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru (Triandis dalam
Chapdelaine, 2004). Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak
efektif karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa
menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.
- Pendekatan Perilaku
Menurut
pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi karena individu tidak memahami
sistim “hadiah dan hukuman” yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim
hadiah dan hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun
nonverbal dalam kultur tersebut (Anderson dalam Chapdelaine, 2004). Dalam hal
ini, bisa saja terjadi, hal yang di kultur asal dianggap sebagai hal yang
dianggap baik, sehingga mendapatkan hadiah, mungkin di kultur baru dianggap
buruk, sehingga mendapatkan hukuman. Misalnya saja: di Indonesia menanyakan
“Mau kemana? Dari mana? Sudah mandi atau belum?” pada teman dianggap sebagai
perhatian dan kepedulian. Bisa saja di negara yang lain dianggap terlalu
mencampuri urusan orang dan membuat orang tersinggung.
- Pendekatan Fenomenologis
Menurut
pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman
transisional dari kondisi kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke
kesadaran yang tinggi akan diri dan kultur (Adler, 1975; Bennett, dalam
Chaldelaine, 2004). Menurut pendekatan ini, culture shock terjadi
karena mereka tidak dapat lagi menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai
kulturnya untuk memvalidasi aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di
kultur asalnya ia meyakini dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah
minum-minuman di bar, tidak melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi
di lingkungan yang baru, ia tidak dapat menggunakan standar “anak baik”
sebagaimana yang digunakan di kultur asalnya. Di tempat yang baru, kondisi ini
justru membuatnya dicap sebagai “anak ketinggalan jaman, kuno dan kolot”. Dalam
proses inilah seringkali individu mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan
yang dulu pernah dimilikinya, bahkan mempertanyakan kembali konsep dirinya yang
sebelumnya diyakini selama ini. Hal ini seringkali menimbulkan krisis
tersendiri bagi individu tersebut.
- Pendekatan Sosiopsikologis
Pada
pendekatan ini, meliputi :
-
Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur antara kultur asal
dan
kultur di tempat baru menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa
keterhilangan di tempat yang baru bagi dirinya.
-
Penyesuaian sosial: Dalam hal ini, culture shock terjadi
karena individu
tidak
memiliki pemahaman budaya yang cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik
dengan warga lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas kultur yang
begitu besar sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan kultur yang baru.
REFERENSI
Irwanto dkk. (1997). Psikologi
Umum, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Xia, Junzi. (1999). Analysis
of Impact Culture Shock on Individual Psychology, Vol 1, No. 2.
Tonder, Christian L. Van,
werner Soontiens. (2014). Migrant Acculturation and The Workplace, hal
1041-1047
http://reza-r--fpsi10.web.unair.ac.id/artikel_detail-119689-Umum
culture%20shock%20pada%20mahasiswa%20rantau.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar