Senin, 30 April 2018

culture shock pada mahasiswa rantau


Permasalahan yang akan dibahas adalah “ Bagaimana fenomena culture shock pada mahasiswa rantau?”. Hal tersebut terkait dengan banyaknya mahasiswa yang bersekolah di luar pulau dan mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan budaya setempat, sehingga mereka dapat menjalani proses pendidikan mereka dengan maksimal.

Istilah Culture Shock awalnya dikenal melalui jurnal medis sebagai penyakit yang parah karena berpotensi menghilangkan nyawa seseorang, yang diperoleh individu saat ia secara tiba-tiba dipindahkan ke luar negeri. Secara Sosial, Culture shock dikenalkan pertama kali oleh seseorang sosiolog bernama Kalervo Oberg (1960) mendefinisikan culture shock sebagai penyakit yang diderita oleh individu yang hidup di luar kulturnya. Istilah ini mengandung pengertian cemas, hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaiamana harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam lingkungan yang secara kultur maupun sosial baru. Oberg lebih lanjut menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu karena ia kehilangan simbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relatif lama.
            Adler ( 1975) menjelaskan bahwa culture shock adalah suatu rangkaian emosional sebagai akibat dari hilangnya penguatan yang selama ini diperoleh dari kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tak memiliki arti, dan karena adanya kesalah pahaman pada pengalaman baru dan berbeda Perasaan yang muncul meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung, perasaan takut bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya, perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh orang lain. Menurut Guanupa ( 1998) bahwa perasaan tidak nyaman akibat culture shock tidak hanya melulu reaksi emosional, tetapi juga meliputi reaksi fisik yang diderita individu ketika merasa berada di tempat yang berbeda dari tempat asalnya. Pengalaman ini bukan saja disebabkan karena budaya, dan norma-norma masyarakat yang berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan, teknologi yang berbeda dari negara asal dengan negara yang didatanginya. Berbagai kerberbedaan tersebut menimbulkan perasaan asing, kehilangan orientasi dan kebingungan. Milton (1998) mengamati bahwa pengalaman culture shock itu sendiri bisa sangat unik antara satu dengan yang lain, karena berbagai penyebab yang sifatnya bervariasi pula antar satu individu dengan individu lain, maupun antara satu dan budaya lain yang dimasuki individu tersebut.
            Menurut Furnham dan Bochner (1986) ada beberapa istilah berbeda yang menggambarkan individu yang tinggal di kultur baru berdasarkan lama waktu tinggalnya. Kurang dari 6 bukan disebut turis, dimana turis adalah mereka yang tinggal di suatu kultur baru namun tidak terlalu lama. Tinggal dalam waktu yang lama ( sekitar 6 bulan sd 5 tahun) dikenal dengan istilah sojourner. Dalam fenomena memasuki kultur yang baru terdapat beberapa tahap yang umumnya dilalui individu sehubungan dengan culture shock ( Oberg dalam Irwin 2007 ; Guanipa, 1998). Tahap-tahap ini dikenal dengan istilah U-Shape antara lain :
  1. Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun
Merupakan tahap pertama saat individu datang ke tempat yang baru, biasanya berlangsung sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan Pada masa ini, individu masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias, terrhadap kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini, perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Hal ini merupakan masa pengalaman sebagai turis. Biasanya turis akan pulang sebelum masa honey moon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya adalah berbagai hal menyenangkan yang ia temui di tempat barunya. Namun apabila seseorang tinggal di suatu tempat lebih lma, bisa jadi keadaan akan diikuti dengan menurunnya suasana hati.
  1. Tahap Krisis : agresif/ regresi/ flight
Pada tahap ini, individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapinya sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal. Biasanya individu-individu akan berpaling kepada teman-teman sebudayanya, yang dianggap lebih bisa diajak bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki kultur yang sama. Seringkali muncul pendewaan terhadap kultur asal, menganggap kultur asalnya adalah kultur yang paling baik, dan mengkritik kultur barunya seagai kultur yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan aneh. Kondisi mengkritik kultur baru ini bisa termanfestasi dalam kebencian terhadap kultur baru, menolak belajar bahasanya, terlibat dengan orang-orang di kultur baru tersebut. Pada tahap ini juga muncul stereotipe-stereotipe tentang orang-orang dari kultur baru yang bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan penduduk asli. Oberg menyebut masa ini sebagai masa krisis yang akan menentukan apakah individu akan tinggal atau meninggalkan tempat barunya. Pada masa ini pula bisa mencul keinginan regresi, keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan kondisi-kondisi yang ada di tempat asalnya serta mendapatkan perlindungan dari orang-orang yang memiliki kultur yang sama.
  1. Tahap Proses Adjustment
Bila individy bertahan dalam tahap krisis, maka individu akan masuk pada tahap ketiga. Tahap ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini, individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antar kultur aslinya dan kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia mungkin mulai paham bagaimana  cara menggunakan teknologi yang baru, telah mulai menemukan makanan yang lebh cocok dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai menemukan arah untuk perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan rasa humor. Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti yang dikembangkan oleh Furnham dan Bochner (1896), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap kultur baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian, dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada akhirnya bisa dinikmati dan diterima.
  1. Tahap Fit/ Integration
Tahap berikutnya terjadi apabila individu mulai menyadari bahwa kultur barunya punya hal yang baik maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru, dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga muncul perasaan memiliki. Ini memungkinkan munculnya defenisi baru mengenai diri sendiri.
  1. Tahap Re- Entry Shock
Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke tempat asalnya. Individu mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi sama seperti dulu. Dan pada masa ini pun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap kulturnya yang lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru. Dalam penelitian Gaw (2000) ditemukan bahwa individu yang kembali ke dalam daerahnya dan mengalami re-entry shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami re entry culture shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami masalah rasa malu dibandingkan mereka yang mengalami re entry culture shock yang rendah.
Masing-masing tahap bukan berarti selalu dijalani secara urut ke jenjang berikutnya. Sangat mungkin bahwa individu yang telah memasuki jenjang berikutnya masih kembali mengalami jenjang sebelumnya ketika dihadapkan pada persoalan baru dalam penyesuaian dirinya.
Setiap individu menunjukkan gejala-gejala yang berbeda saat mengalami culture shock, yaitu :
-          Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan, disorientasi
-          Menjadi lebih khawatir tentang kesehatan.
-          Menderita rasa sakit di berbagai area tubuh, muncul berbagai alergi, serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala, dll.
-          Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa tidak berdaya
-          Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk beinteraksi dengan orang lain.
-          Selalu membanding bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal secara berlebihan
-          Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini diyakiininya. Misalnya, sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik, dll
-          Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan barunya ( karena rasa cemas ingin menguasai/ memahami lingkungannya)  yang justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan
-          Tidak mampu memecahkan masalah sederhana
-          Kehilangan kepercayaan diri
Secara singkat, Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distress mental mapun fisik yang dialami seseorang di lokasi asing di sebut gejala culture shock.
            Saat seseorang mengalami culture shock, bagi mahasiswa khususnya, ada beberapa efek yang secara umum menjadi efek dari culture shock, diantaranya seperti ketidakmampuan menyelesaikan tugas sekolah dengan baik. Persoalan emosional yang muncul kadang kala membuat siswa menjadi putus asa dan memutuskan untuk tidak melanjutkan studi dan memilih untuk kembali ke daerah asalnya.
            Hopkins (1999) dan Roland (1988) menyatakan bahwa interakasi dengan kultur baru akan mendorong terjadinya self directed analysis (analisa yang diarahkan pada diri sendiri) yang memungkinkan individu untuk menemukan insight dari aspek psikisnya mengenai dirinya sendiri. Struktur baru ini akan semakin tampak melalui pengalaman emosional dan afektif saat berinteraksi dengan kultur yang baru. Dalam hal ini, pengalaman interaksi dengan kultur yang baru tampaknya tidak selalu negatif. Namun sebaliknya, hal ini akan mendorong individu untuk mengenali dirinya dalam konteks yang lebih luas. Irwin (2007) juga mengatakan bahwa proses penemuan makna baru karena pengaruh kultur barunya memungkinkan individu kehilangan makna lama yang ia miliki dari kultur lamanya. Hal ini bisa saja membawa implikasi terjadinya krisis identitas dalam diri individu yang terpapar di suatu lingkungan baru.
Mengapa culture shock dapat terjadi dapat dilihat dari beberapa pendekatan. Chapdine (2004) mencatat empat pendekatan dalam menjelaskan culture shock, antara lain :
  1. Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk penyesuaian lintas budaya individu akan tergantung dari kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang tepat mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di lingkungan yang baru. Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri karena mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai, menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru (Triandis dalam Chapdelaine, 2004). Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak efektif karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.
  1. Pendekatan Perilaku
Menurut pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi karena individu tidak memahami sistim “hadiah dan hukuman” yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim hadiah dan hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun nonverbal dalam kultur tersebut (Anderson dalam Chapdelaine, 2004). Dalam hal ini, bisa saja terjadi, hal yang di kultur asal dianggap sebagai hal yang dianggap baik, sehingga mendapatkan hadiah, mungkin di kultur baru dianggap buruk, sehingga mendapatkan hukuman. Misalnya saja: di Indonesia menanyakan “Mau kemana? Dari mana? Sudah mandi atau belum?” pada teman dianggap sebagai perhatian dan kepedulian. Bisa saja di negara yang lain dianggap terlalu mencampuri urusan orang dan membuat orang tersinggung.
  1. Pendekatan Fenomenologis
Menurut pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman transisional dari kondisi kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke kesadaran yang tinggi akan diri dan kultur (Adler, 1975; Bennett, dalam Chaldelaine, 2004). Menurut pendekatan ini, culture shock terjadi karena mereka tidak dapat lagi menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar, tidak melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang baru, ia tidak dapat menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang digunakan di kultur asalnya. Di tempat yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap sebagai “anak ketinggalan jaman, kuno dan kolot”. Dalam proses inilah seringkali individu mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan mempertanyakan kembali konsep dirinya yang sebelumnya diyakini selama ini. Hal ini seringkali menimbulkan krisis tersendiri bagi individu tersebut.
  1. Pendekatan Sosiopsikologis
Pada pendekatan ini, meliputi :
- Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur antara kultur asal
dan kultur di tempat baru menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa keterhilangan di tempat yang baru bagi dirinya.
- Penyesuaian sosial: Dalam hal ini, culture shock terjadi karena individu
tidak memiliki pemahaman budaya yang cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik dengan warga lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas kultur yang begitu besar sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan kultur yang baru.  

REFERENSI
Irwanto dkk. (1997). Psikologi Umum, Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Xia, Junzi. (1999). Analysis of Impact Culture Shock on Individual Psychology, Vol 1, No. 2.
Tonder, Christian L. Van, werner Soontiens. (2014). Migrant Acculturation and The Workplace, hal 1041-1047
http://reza-r--fpsi10.web.unair.ac.id/artikel_detail-119689-Umum
culture%20shock%20pada%20mahasiswa%20rantau.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar